Beranda PC Fatayat NU Lakukan Upaya Pencegahan Kekerasan Gender Berbasis Agama Rangkul Seluruh Stakeholder

PC Fatayat NU Lakukan Upaya Pencegahan Kekerasan Gender Berbasis Agama Rangkul Seluruh Stakeholder

Oleh, Redaksi
3 bulan yang lalu - waktu baca 3 menit
PC Fatayat NU Lakukan diskusi kekerasan gender

SuaraGarut.id - Pimpinan Cabang (PC) Fatayat NU Kabupaten Garut Jawa Barat menyelenggarakan Diskusi Analisis Sosial Mengenai Kekerasan gender memberikan perspektif baru mengenai peran tokoh agama dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis agama 

Kegiatan diskusi analisis sosial yang dilaksanakan pada Sabtu 7 September 2024 di aula desa Cipaganti dihadiri oleh 50 tokoh lintas iman beserta stakeholders yang ada di Desa Cipaganti Kecamatan Cisurupan Garut Jawa Barat 

Dalam sambutannya, Dr. Ernawati Siti Saja'ah, M.Pd yang mewakili ketua PC Fatayat NU Garut, menyampaikan bahwa sebagai organisasi pemudi NU, Fatayat NU Garut berkomitmen untuk berupaya membangun harmoni melalui program berkelanjutan yang sampai saat ini dilakukan di kabupaten Garut. 

Di mana salah satu kegiatannya berpusat di desa Cipaganti sebagai lokus desa yang dijadikan percontohan bagaimana aparatur desa berkontribusi dalam upaya membangun kehidupan masyarakat yang harmonis. 

Ia menyampaikan bahwa Fatayat NU sengaja melaksanakan kegiatan si desa Cipaganti sebagai upaya memperlihatkan kepada komunitas lintas iman yang sengaja diundang selaku mitra Fatayat NU selama ini bisa belajar bersama bagaimana best practice mengenai pengelolaan keragaman terjadi di Desa Cipaganti. 

Hadir dalam kegiatan diskusi, Risnawati, S.Pd, M.AP selaku pemateri dari LKP3A Fatayat NU Garut. Ia menyampaikan penjelasan mengenai gender yang sering dikonsepsikan sebagai perbedaan peran secara sosial karena jenis kelamin tertentu, sehingga melahirkan kekerasan dan ketidakadilan bagi jenis kelamin lainnya. 

Adapun beberapa jenis kekerasan gender diantaranya kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Risnawati menjelaskan bahwa peranan Fatayat NU Garut mencegah kekerasan gender melalui LKP3A yang berada di bawah koordinasi bidang Hukum, Politik, dan Advokasi. 

Menurut nya selama 4 tahun terakhir, Fatayat NU Garut sudah mendampingi beberapa kasus yang sebagian tidak hanya dialami oleh perempuan, tapi juga laki-laki, bahkan oleh anak di bawah umur. 

Ia berharap dengan adanya pendampingan tersebut akan memulihkan kondisi psikologis korban agar tidak mengalami konflik batin yang berkelanjutan. 

Selain itu, jika kasusnya cukup berat, Fatayat NU juga bermitra dengan LBH agar bisa membantu memberikan pendampingan hukum kepada korban dan keluarga untuk berani speak up dan membawa ke ranah hukum. 

Sementara Dr. Neng Hannah, M.Ag selaku dosen dan ketua satgas PPKS di kampus UIN Bandung, bertindak sebagai pemateri  kedua banyak menyoroti kekerasan yang terjadi di masyarakat Jawa Barat yang masih banyak terjadi. 

Neng Hannah menjelaskan bagaimana kekerasan gender bisa terjadi karena legitimasi agama. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?. Neng Hannah menjelaskan bahwa agama dipahami oleh berbagai kalangan melalui berbagai dimensi nya masing-masing, di antaranya dimensi agama, budaya, dan nilai. 

Dimensi pertama agama dipandang sebagai agama an sich, dalam arti keyakinan teologis yang dipahami secara literal. Dimensi kedua dari sudut pandang budaya, bahwa agama menjadi bagian yang tak terpisah dari budaya yang berkembang dalam masyarakat, sehingga implementasi nya tidak terlepas dari budaya dan kebiasaan setempat. 

Sementara dari dimensi nilai, agama dipandang sebagai tata nilai sebagai guidance bagi para pemeluknya. Nilai-nilai di sini sarat dengan ajaran luhur yang tidak hanya mengajarkan interaksi umat beragama pada Tuhannya, tapi juga kepada sesamanya. 

Dimensi-dimensi ini memberikan perspektif sebagian masyarakat untuk bertindak sesuai dengan perspektif terbuka terutama dalam menerjemahkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. 

Salah satu contohnya bagaimana masyarakat beragama memandang kekerasan sebagai bagian dari sejarah keberadaan agama itu sendiri. 

Jika tidak dipahami secara mendalam, tentu pemahaman ini melahirkan mis konsepsi antar ajaran damai yang bersumber dari ajaran agama, dengan kekerasan yang ditimbulkan atas nama ajaran agama. 

Penjelasan dari Neng Hannah memberikan perspektif bagaimana masyarakat perlu memahami konsep beragama related dengan sikap kita terhadap kekerasan gender yang banyak terjadi dilegitimasi atas nama agama. 

Maka menurut Neng Hannah perlu peranan tokoh agama dalam upaya membangun kesadaran mengenai kekerasan gender, karena selain mereka dekat dengan masyarakat, secara keilmuan tokoh agama dianggap mumpuni menjelaskan persoalan agama secara komprehensif. 

Acara diskusi berlangsung hangat dengan banyaknya respon dari peserta, baik berupa pertanyaan, pernyataan tambahan, maupun berupa sharing pengalaman. 

Peserta berharap kegiatan serupa sering dilakukan dan berkelanjutan. Selain karena memiliki topik yang cukup urgent, pencegahan kekerasan gender perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga meminimalisir terjadinya kekerasan akibat keawaman, ketidaktahuan, serta ketidakberdayaan korban.***

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.