Beranda Tak Mampu Bayar DSP Karena Miskin Ekstrem Siswa SMKN 2 Garut Tak Diizinkan Ujian, Terancam Putus Sekolah

Tak Mampu Bayar DSP Karena Miskin Ekstrem Siswa SMKN 2 Garut Tak Diizinkan Ujian, Terancam Putus Sekolah

Oleh, Redaksi
2 hari yang lalu - waktu baca 2 menit
Siswa SMKN 2 Garut tak diizinkan ujian karena belum bayar DSP/SG

SuaraGarut.id – Anggota DPRD Kabupaten Garut, Yuda Puja Turnawan, mengungkapkan keprihatinannya atas nasib Muhammad Rizki, seorang siswa kelas 10 jurusan elektro di SMKN 2 Garut yang tak diizinkan mengikuti ujian kenaikan kelas karena belum membayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) sebesar 9 juta rupiah.

Kisah tersebut disampaikan Yuda usai mengunjungi kediaman keluarga Muhammad Rizki di Kampung Bentar Hilir RT 02 RW 16, Kelurahan Sukamenteri, Kecamatan Garut Kota, Jumat (12/7). Dalam kunjungan itu, ia awalnya hendak menemui adik Rizki, Muhammad Revan, seorang penyandang disabilitas, namun kemudian mendapat informasi mengenai nasib pendidikan kakaknya.

Menurut Yuda, semula pihak sekolah membebankan DSP kepada Rizki sebesar 11 juta rupiah, namun jumlah tersebut kemudian diturunkan menjadi 9 juta. Karena belum membayar, Rizki tidak diberikan kartu ujian dan tidak diberi kesempatan mengikuti ujian akhir semester dua. Ironisnya, pihak sekolah kemudian mengkategorikannya sebagai siswa yang mengundurkan diri.

"Padahal jelas-jelas Muhammad Rizki tidak diberi kartu ujian dan tidak diberikan kesempatan ikut ujian kenaikan kelas oleh pihak sekolah," ujar Yuda.

Ia menyayangkan sikap pihak SMKN 2 Garut yang menurutnya kurang memiliki empati terhadap kondisi keluarga Rizki, yang berasal dari kelompok miskin ekstrem. Ayahnya, Andri Kuswandi, bekerja sebagai pencari rongsokan untuk menghidupi keluarganya yang masih tinggal di rumah kontrakan.

Yuda menegaskan bahwa Dana Sumbangan Pendidikan seharusnya bersifat sukarela dan tidak ditentukan jumlahnya. Jika nominalnya ditetapkan secara spesifik, hal itu masuk kategori pungutan, yang dilarang keras di sekolah negeri.

“Bayangkan tunas bangsa seperti Muhammad Rizki menjadi minder untuk bersekolah karena tak bisa ikut ujian kenaikan kelas karena tak mampu membayar DSP,” katanya.

Ia juga menyinggung rendahnya angka rata-rata lama sekolah di Kabupaten Garut yang baru mencapai 7,8 tahun, serta rendahnya Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SMA yang baru di kisaran 60,04 persen.

Menurut Yuda, mahalnya biaya pendidikan menjadi salah satu penyebab utama anak-anak dari keluarga miskin tak bisa melanjutkan sekolah. Ia pun mendorong Pemerintah Kabupaten Garut untuk berkoordinasi lebih intensif dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar kasus seperti yang dialami Rizki tidak kembali terjadi.

"Di mana letak sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jika sekolah justru menjadi tempat yang melunturkan nilai-nilai Pancasila? Kepala sekolah dan guru harus bisa mengamalkan nilai-nilai itu, bukan hanya mengajarkannya," ujar Yuda.

Meski pendidikan menengah merupakan kewenangan pemerintah provinsi, Yuda mendesak Pemkab Garut agar tidak tinggal diam.

"Langkah koordinatif diperlukan. Jangan biarkan anak-anak bangsa jadi putus sekolah hanya karena tidak mampu membayar dana pendidikan yang ditetapkan oleh sekolah," pungkasnya.

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.