Agus Pambagio dan Mahfud MD Soroti Dugaan Kejanggalan Proyek Kereta Cepat, Singgung Kontrak Rahasia dengan Cina
SuaraGarut.id – Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menyoroti berbagai kejanggalan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Ia mempertanyakan keputusan pemerintah yang berpindah dari skema kerja sama government to government (G2G) dengan Jepang menjadi business to business (B2B) dengan Cina.
Menurut Agus, proyek tersebut pada awalnya merupakan kerja sama antara Indonesia dan Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Jepang bahkan telah memberikan hibah untuk studi kelayakan jalur Jakarta–Surabaya yang kemudian disederhanakan hanya sampai Bandung.
“Studi itu sudah selesai, semua perhitungan dan titik pemberhentian sudah jelas. Tapi entah mengapa proyeknya berpindah ke Cina,” ujar Agus dalam diskusi bersama Mahfud MD di kanal YouTube Mahfud MD Official yang dipandu Rizal Mustary, dikutip Rabu, 22 Oktober 2025.
Agus menjelaskan bahwa setelah dokumen studi diserahkan ke Bappenas, proyek kemudian beralih ke pihak Cina. Pihak Cina menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membantu perhitungan teknis, menggantikan tim dari Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sebelumnya bekerja sama dengan Jepang.
“Rute dan jumlah penumpang berubah, stasiun yang tadinya di Manggarai pindah ke Halim, pemberhentian di Karawang dihapus, diganti Walini yang kebetulan milik PTPN VIII,” ujarnya.
Agus juga mengaku sempat mengingatkan Presiden Joko Widodo terkait biaya dan kelayakan proyek tersebut. Dalam pertemuan langsung dengan Presiden, ia menanyakan siapa penggagas proyek itu.
“Pak Jokowi menjawab, ‘Ide saya, Mas.’ Saya sampaikan bahwa proyek ini terlalu mahal, tapi Presiden menjawab, ‘Percaya sama saya, ini akan berhasil,’” tutur Agus.
Selain itu, Agus menyoroti jangka waktu konsesi 50 tahun yang diberikan kepada pihak Cina. Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, menurutnya, sempat menolak jangka waktu tersebut karena dianggap terlalu panjang dan berisiko.
“Pak Jonan tidak setuju dan akhirnya diberhentikan. Padahal, ia menganggap proyek ini tidak layak secara finansial,” katanya.
Agus juga mengutip pandangan pengamat ekonomi Antoni Budiawan yang menilai adanya dugaan mark up biaya proyek hingga Rp118 triliun atau sekitar 72 miliar dolar AS. Antoni juga menyoroti perbedaan besar dalam bunga pinjaman antara Jepang dan Cina.
“Jepang hanya menawarkan bunga 0,1 persen, sedangkan Cina mencapai 2 persen plus tambahan biaya lain hingga 3,4 persen,” ujar Agus.
Menanggapi hal itu, Mahfud MD berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu turun tangan.
“Kalau memang ada dugaan mark up, KPK harus memeriksa kontrak dan pihak-pihak yang terlibat tanpa menunggu laporan,” ujar Mahfud.
Mahfud juga mengungkap hasil penelitian lembaga internasional yang menemukan pola serupa di 24 negara penerima pinjaman Cina. Dalam kontrak, kerap terdapat klausul yang bersifat rahasia dan berpotensi merugikan negara peminjam.
“Ada klausul yang memungkinkan Cina menuntut pengembalian dana bila terjadi perubahan kebijakan, bahkan beberapa negara diwajibkan menempatkan jaminan di rekening yang dikendalikan pemerintah Cina,” ungkapnya.
Mahfud menyampaikan kekhawatirannya karena hingga kini baik DPR maupun publik belum memiliki akses terhadap isi kontrak proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung.
“Kita tidak tahu apa yang dijaminkan pemerintah. Bisa saja pulau, laut, atau aset strategis lain,” tegasnya.
Mahfud juga menyinggung Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 yang diterbitkan menjelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi. Aturan tersebut memungkinkan pemerintah memberikan jaminan kepada kreditur terhadap utang yang dilakukan pihak swasta.
“Saya khawatir ini bentuk antisipasi kalau pihak swasta tidak mampu membayar,” katanya.
Menutup diskusi, Mahfud menegaskan pentingnya penelusuran hukum untuk menjamin transparansi proyek.
“Tujuannya bukan untuk menyalahkan, tapi agar kesalahan serupa tidak terulang. Kalau memang ada pelanggaran hukum, biarlah proses berjalan sesuai aturan,” ujarnya.
Sementara itu, Agus menilai restrukturisasi utang dengan Cina yang disebut-sebut oleh pemerintah tidak akan banyak membantu.
“Kalau restrukturisasi hanya menurunkan bunga tapi memperpanjang tenor, maka beban justru makin panjang. Sekarang saja sudah 50 tahun, bisa jadi 80 tahun lebih,” ujarnya.
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.