Beranda DP3AKB: Kesadaran Meningkat, Warga Jabar Kini Lebih Berani Laporkan Kekerasan Anak dan Perempuan

DP3AKB: Kesadaran Meningkat, Warga Jabar Kini Lebih Berani Laporkan Kekerasan Anak dan Perempuan

Oleh, Redaksi
6 jam yang lalu - waktu baca 3 menit
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Siska Gerfianti/IST

SuaraGarut.id — Tren pengaduan terhadap kasus kekerasan anak dan perempuan di Jawa Barat terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Hal ini mencerminkan tumbuhnya kesadaran serta keberanian masyarakat dalam melaporkan tindak kekerasan yang sebelumnya dianggap tabu.

“Masyarakat semakin menyadari kalau kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sudah bukan dianggap sebagai hal yang tabu atau aib bagi keluarganya,” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Siska Gerfianti saat berbincang di Basa Basi Podcast Pokja PWI Kota Bandung, Senin, (5/5/2025).

Data DP3AKB menunjukkan sepanjang tahun 2024 terdapat 3.084 kasus kekerasan, dengan rincian 2.939 kasus kekerasan terhadap anak (63%) dan 1.145 kasus terhadap perempuan (17%). Sementara itu, laporan yang masuk melalui UPTD Perlindungan Anak dan Perempuan di Jawa Barat mencapai 948 kasus, terdiri dari 472 kasus kekerasan terhadap anak (49,7%) dan 476 kasus terhadap perempuan (50,2%).

Siska menjelaskan bahwa pelaporan tidak harus datang langsung dari korban. Masyarakat yang mengetahui atau menyaksikan kejadian kekerasan juga dapat menyampaikan laporan melalui kanal resmi. “Pengaduan tidak hanya bersumber dari korban secara langsung, masyarakat yang melihat, mendengar atau mengetahui adanya tindak kekerasan juga dapat melaporkan melalui saluran yang tersedia. Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga mendorong masyarakat untuk lebih peka dan berani melapor. Jika mengetahui adanya kasus kekerasan,” ungkap Siska.

Ia juga menegaskan bahwa baik korban maupun saksi yang melapor dijamin perlindungannya berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. “Kami dari DP3AKB dan UPTD PPA dapat menyediakan Rumah Perlindungan Sementara. Dan apabila terdapat ancaman yang lebih serius terdapat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai Lembaga Negara yang bertugas untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi saksi dan korban kekerasan,” terangnya.

Untuk mempermudah masyarakat, pemerintah provinsi telah membentuk UPTD PPA dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Unit ini melayani pengaduan, penjangkauan, pendampingan hukum, psikologi, kesehatan, rumah aman, hingga mediasi. Masyarakat bisa melapor langsung atau melalui hotline WhatsApp UPTD PPA Jabar di 085222206777 atau SAPA 129, serta melalui akun Instagram resmi DP3AKB.

Menanggapi kasus pelecehan seksual oleh tenaga medis yang sempat viral di media sosial, Siska menegaskan pentingnya penegakan hukum. Ia mendorong aparat agar menindak pelaku sesuai aturan yang berlaku.

Untuk mencegah kekerasan, DP3AKB menggulirkan program Jabar CEKAS yang melibatkan berbagai pihak termasuk akademisi, pelaku usaha, hingga pembentukan Satgas PAAREDFI CEKAS di tingkat desa dan kelurahan. “Tugasnya mengkampanyekan 5 Berani; Berani Mencegah, Berani Menolak, Berani Melapor, Berani Maju dan Berani Melindungi,” ucapnya.

Mengenai isu yang beredar terkait Gubernur Jabar Dedi Mulyadi dan program vasektomi sebagai syarat bansos, Siska meluruskan bahwa fokus kebijakan tersebut bukan hanya pada pria. “Sebetulnya Pak Gubernur tidak hanya hanya mendorong Vasektomi saja, tetapi kesertaan ber-KB baik wanita maupun pria. Terutama bagi para penerima Bantuan Sosial Provinsi Jabar. Karena, banyak diantaranya mempunyai anak lebih dari 3 orang yang akhirnya pola asuhnya, gizi, kesehatan dan pendidikan maupun hak anaknya terbengkalai. Nah, sebetulnya niatan Pak Gubernur itu beranjak dari sana,” papar Siska.

 

Ia menutup dengan harapan agar media turut aktif memberikan edukasi dan informasi yang benar kepada publik mengenai hak korban dan prosedur pelaporan kekerasan. “Diharapkan dengan adanya edukasi yang dilakukan Pers, masyarakat akan semakin menyadari dan berani menentang kekerasan serta menciptakan lingkungan sosial yang support terhadap korban. Sehingga tidak muncul stigma yang akan memperburuk kondisi korban. Dan yang utama Pers mempunyai peran dalam mewujudkan Etika Jurnalistik yang bertanggungjawab yang tidak menyudutkan korban. Bahkan sampai mengekpos Identitas korban, serta mengekploitasi penderitaan korban,” pungkasnya.***

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.