Beranda Soal DSP Komite Sebut Hanya Kurang Komunikasi: Kasus Rizky di SMKN 2 Garut Jadi Cermin Pentingnya Empati dalam Dunia Pendidikan

Soal DSP Komite Sebut Hanya Kurang Komunikasi: Kasus Rizky di SMKN 2 Garut Jadi Cermin Pentingnya Empati dalam Dunia Pendidikan

Oleh, Redaksi
10 jam yang lalu - waktu baca 3 menit
Proses mediasi antara KCD, Komite SMKN 2, Keluarga Siswa dan Anggota DPRD di SMKN 2 Garut/SG

SuaraGarut.id – Kasus seorang siswa SMK Negeri 2 Garut yang tak mengikuti ujian kenaikan kelas karena merasa minder dan tidak sanggup membayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) memantik perhatian publik. Sejumlah pihak kemudian turun tangan menengahi persoalan ini, yang sebenarnya bermula dari kurangnya komunikasi antara pihak sekolah dan orang tua siswa.

Anak tersebut, Muhammad Rizky, dikabarkan sempat mengundurkan diri dari sekolah pada 16 Mei 2025, padahal ujian kenaikan kelas baru dilaksanakan pada bulan Juni. Hal ini memicu berbagai asumsi publik, termasuk dugaan adanya intimidasi atau penahanan ijazah karena belum melunasi sumbangan.

Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XI Kabupaten Garut, Aang Karyana, menegaskan bahwa fokus utama saat ini adalah memastikan Rizky tetap bersekolah dan tidak putus pendidikan. Ia telah mempertemukan berbagai pihak, mulai dari perwakilan guru, kepala sekolah, komite, hingga orang tua siswa.

“Saya ingin anak ini tetap sekolah, di manapun sekolahnya nanti. Permasalahan yang ada, termasuk rasa minder karena tidak bisa membayar atau tidak punya seragam, sudah dibicarakan. Anak ini memang dari keluarga tidak mampu, dan itu yang perlu kita bantu,” ujar Aang.

Aang juga menyampaikan bahwa segala persoalan DSP bisa dibicarakan antara pihak sekolah dan orang tua. Ia berharap ke depan tidak ada lagi anak yang keluar sekolah karena faktor ekonomi tanpa ada upaya komunikasi atau solusi dari berbagai pihak.

Senada, Anggota DPRD Kabupaten Garut, Yuda Puja Turnawan, menyampaikan bahwa kasus ini menjadi refleksi pentingnya membangun ekosistem sekolah yang lebih terbuka dan mendukung anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Orang tua Rizky tidak melakukan komunikasi intensif. Padahal, pihak sekolah sebenarnya membuka ruang dialog. Kalau komunikasi dibangun dengan baik, pasti ada kebijakan yang bisa meringankan,” kata Yuda.

Ia juga menyoroti pentingnya membangun keberanian bagi orang tua siswa untuk menyampaikan kendala mereka. “Ada banyak keluarga yang merasa minder karena tidak mampu. Ruang-ruang curhat seperti ini sangat penting agar tidak ada anak yang harus berhenti sekolah hanya karena masalah biaya,” ujarnya.

Sementara itu, Komite SMKN 2 Garut, Dedi Kurniawan, menegaskan bahwa tidak pernah ada kebijakan dari sekolah atau komite untuk menahan ijazah, raport, atau kartu pelajar siswa hanya karena belum melunasi sumbangan pendidikan.

“Dari 2.700 siswa, tidak ada satu pun yang ditahan ijazahnya. Bahkan jika orang tua tidak mampu membayar, kami selalu membuka ruang dialog. Yang jadi masalah, orang tua adik Rizky ini sudah merasa minder lebih dulu dan tidak datang ke sekolah untuk menyampaikan kendalanya,” jelas Dedi.

Ia juga menegaskan bahwa angka Rp7 juta yang sempat disebut sebagai DSP bukanlah kewajiban mutlak, melainkan kesanggupan awal dari pihak orang tua yang bisa dibicarakan lebih lanjut.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi antara sekolah, komite, dan orang tua harus terus diperkuat. Tidak semua masalah harus berujung pada pengunduran diri siswa, terutama jika anak tersebut berasal dari keluarga yang sedang berjuang secara ekonomi.

Pendidikan adalah hak semua anak, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk memastikan tak ada satu pun anak yang tertinggal karena kendala biaya atau miskomunikasi.***

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.