Beranda Polemik Sunat pada Bayi Perempuan, Antara Pandangan Agama dan Medis

Polemik Sunat pada Bayi Perempuan, Antara Pandangan Agama dan Medis

Oleh, Redaksi
13 jam yang lalu - waktu baca 2 menit
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, Leli Yuliana/SG

SuaraGarut.id - Isu mengenai sunat pada bayi perempuan masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Pro dan kontra terkait praktik ini terus menjadi bahan diskusi, terutama setelah pemerintah secara resmi menghapus praktik tersebut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam PP tersebut, praktik sunat perempuan tidak lagi tercantum dalam Pasal 102.

Namun, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, KH. Sirojul Munir atau yang akrab disapa Ceng Munir, menyampaikan bahwa bayi perempuan sebaiknya tetap disunat. Ia beralasan, hal ini berkaitan dengan upaya untuk menghilangkan najis dalam pelaksanaan ibadah.

Di sisi lain, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, Leli Yuliana, menegaskan bahwa secara medis, tidak dikenal adanya sunat untuk perempuan.

"Kalau yang dimaksud sunat itu dengan cara memotong bagian tertentu pada perempuan, secara medis itu tidak ada sebetulnya. Jadi itu yang harus disamakan persepsinya, yang dimaksud sunat itu seperti apa?" kata Leli saat ditemui di Kantor BPKAD Garut, Senin, 7 Juli 2025.

Leli menekankan pentingnya dialog antara pihak yang mendukung praktik sunat perempuan dengan kalangan medis agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Sunat dengan adanya bagian yang dipotong, di kesehatan itu tidak ada, kecuali laki-laki. Tapi apabila yang dimaksud sunat itu adalah membersihkan daerah-daerah tertentu, semacam klitoris pada bayi perempuan, ya itu memang harus dibersihkan," ujarnya.

 

Ia juga menyampaikan bahwa praktik sunat perempuan yang melibatkan pemotongan bagian tertentu pada alat kelamin dapat menimbulkan rasa sakit dan trauma. Ketika ditanya mengenai anggapan bahwa sunat perempuan dapat menurunkan gairah seksual, Leli hanya tersenyum dan menjawab singkat bahwa hal tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

"Makanya soal sunat ini harus ada dialog antara MUI dan Dinas Kesehatan serta unsur lainnya," tutupnya.**

Sumber Kabar Garut

Rekomendasi

0 Komentar

Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.