Pelaku Usaha Bingung, Putar Musik hingga Suara Alam di Kafe Tetap Kena Royalti
SuaraGarut.id – Aturan mengenai pembayaran royalti untuk pemutaran musik di tempat usaha seperti kafe dan restoran kembali menuai kebingungan di kalangan pelaku usaha. Isu besaran tarif yang disebut-sebut mencapai Rp 120.000 per kursi membuat sejumlah pemilik usaha memilih untuk tidak memutar musik sama sekali, bahkan beralih ke suara alam, yang ternyata juga tidak terbebas dari kewajiban royalti.
Rifkyanto Putro, pemilik kedai kopi di Yogyakarta, mengaku kesulitan memahami cara perhitungan tarif royalti yang berlaku saat ini.
"Rp 120.000 dikalikan dengan 25 kursi, nah itu baru satu hak cipta atau bagaimana? Yang belum jelas itu kan,” ujar Putro kepada Kompas.com, Senin (4/8/2025).
Rifkyanto mengaku sudah mengetahui adanya kewajiban membayar royalti sejak 2016, namun hingga kini ia belum mendapatkan informasi yang pasti terkait proses pembayaran, besaran tarif yang berlaku, dan kepada siapa dana tersebut disalurkan.
“Alternatif mungkin enggak ada musik dulu sampai ada kejelasan. Mungkin mulai bulan ini (tidak putar musik),” ujar Rifkyanto.
Ia menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak memutar musik tidak terlalu berdampak pada konsep kedai miliknya, karena sejak awal usaha tersebut memang tidak mengandalkan musik sebagai elemen utama.
“Dari awal konsep coffee shop enggak ada lagu, jadi flow pembeli cepat,” jelasnya.
Kebingungan yang dirasakan Rifkyanto juga dirasakan oleh banyak pelaku usaha lain. Ketakutan akan sanksi hukum membuat mereka mencari cara untuk menghindari pemutaran lagu berlisensi, salah satunya dengan memutar rekaman suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air. Namun, langkah ini rupanya tetap tidak bebas dari royalti.
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa meskipun suara alam terdengar alami, jika diputar dari hasil rekaman, maka tetap terdapat hak produser terhadap fonogram tersebut.
“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma saat dihubungi Kompas.com via telepon.
Sebelumnya, perhatian pelaku usaha semakin meningkat setelah sebuah restoran Mie Gacoan di Bali terseret kasus hukum terkait pelanggaran hak cipta akibat pemutaran musik tanpa izin. Hal ini memperkuat kekhawatiran akan risiko hukum jika tidak mematuhi regulasi yang berlaku, meskipun masih banyak yang mengaku belum mendapat informasi yang jelas tentang teknis pelaksanaannya.***
Sumber Kompas
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.