Dampak Efisiensi Anggaran Terhadap Sektor Perhotelan di Garut: Pengusaha Hotel dan Restoran Mengeluh Kerugian Besar
SuaraGarut.id – Kebijakan pemerintah terkait efisiensi anggaran berdampak luas, tidak hanya pada sektor yang langsung terkait, tetapi juga pada pihak lain yang tidak memiliki keterkaitan langsung, seperti sektor swasta. Salah satunya adalah pengusaha hotel dan restoran di Kabupaten Garut yang tergabung dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), yang mengeluh akibat kerugian besar akibat pembatalan berbagai kegiatan yang sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.
Hal ini diungkapkan oleh Wakil Bupati Garut, Putri Karlina, yang kebetulan juga seorang pengusaha restoran dan anggota PHRI Garut. Ia mengonfirmasi bahwa adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi anggaran menyebabkan banyak proyek pemerintah dan kementerian yang bekerja sama dengan sektor perhotelan dan restoran dibatalkan. "Kerugiannya luar biasa. Beberapa pengusaha bahkan mengalami kerugian hingga ratusan juta rupiah, ada yang sampai Rp 500 juta," ujar Putri.
Putri menyatakan, sebagai pemimpin daerah, ia tidak dapat berbuat banyak terhadap kebijakan pemerintah pusat tersebut. Namun, ia berharap ke depan ada kebijakan yang lebih ramah bagi pengusaha hotel dan restoran. "Kami terus memotivasi rekan-rekan untuk lebih semangat. Kami juga mulai memetakan cara agar sektor lokal bisa lebih maju, meskipun tanpa proyek luar, agar daya beli masyarakat lokal tetap terjaga dan pariwisata lokal bisa berkembang," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Putri juga meminta kepada Ketua BPC PHRI Garut, H. Deden Rohim, agar bisa menyusun daftar tarif minimal dan maksimal hotel, guna menghindari kesan mahal pada sektor pariwisata Garut, terutama saat libur lebaran dan libur nasional lainnya.
H. Deden Rohim, yang juga pengusaha Rancabango Hotel & Resort, mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran ini membuat perusahaannya merugi cukup besar. "Dulu kita mengalami pandemi COVID-19, sekarang kita menghadapi pandemi efisiensi. Tiga kementerian sudah membatalkan agenda acara di hotel kami, dengan kerugian mencapai Rp 500 juta. Belum lagi hotel lainnya, hampir 80 hotel bintang dan non-bintang di Garut yang juga merasakan dampaknya," ungkap Deden, yang akrab disapa Jiden.
Jiden memperkirakan kerugian akibat pembatalan acara di hotel-hotel Garut bisa mencapai belasan miliar rupiah, dengan penurunan pendapatan sektor hotel dan restoran sekitar 30%. Sebagai upaya untuk mengatasi dampak kebijakan efisiensi ini, Jiden bersama pengurus BPC PHRI Garut berencana menggulirkan program Sport Tourism bekerja sama dengan KONI sebagai sektor olahraga utama. Ia yakin, dengan banyaknya kegiatan olahraga berskala nasional di Garut, tingkat hunian hotel akan meningkat.
Mengenai harga hotel yang dianggap mahal saat libur lebaran, Jiden menjelaskan bahwa harga hotel memang relatif dan tergantung pada musim. "Saat bulan puasa, okupansi hotel turun, dan ini berimbas pada bisnis secara keseluruhan, baik di Garut, nasional, bahkan internasional. Saat musim liburan, seperti lebaran, terjadi perebutan kamar karena jumlah kamar terbatas, sementara jumlah pengunjung meningkat," ujarnya.
Jiden juga menyoroti peran sektor pariwisata yang menjadi penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar ketiga di Garut, dengan kontribusi mencapai Rp 29 miliar setiap tahunnya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah dapat memberikan insentif, terutama dalam hal promosi, untuk meningkatkan kunjungan wisatawan di tengah kebijakan efisiensi anggaran ini. "Seharusnya ada insentif dari pemerintah daerah dalam bentuk promosi, agar PAD bisa lebih meningkat lagi," pungkasnya.***
0 Komentar
Anda belum bisa berkomentar, Harap masuk terlebih dahulu.